Thursday, April 7, 2011

PERANAN STAKEHOLDER DALAM MARKETING

Setiap orang yang menjalankan bisnis pasti tidak terlepas dengan masalah marketing, ibaratnya marketing adalah jantungnya dari sebuah bisnis. Berbagai jurus diterapkan oleh shareholder hanya untuk memikat konsumen agar mau menggunakan produk atau jasa kita. Strategi marketing ini mencakup interpersonal, public relations dan segala bentuk komunikasi lain, yang mempunyai tujuan tidak hanya membangun hubungan ekonomi yang saling memuaskan dengan pihak-pihak stake holder (pelanggan, karyawan, pemasok, distributor), tetapi juga membangun ikatan emosional yang kuat dalam rangka mendapatkan serta mempertahankan preferensi dan kelangsungan bisnis jangka panjang.
Ada tiga hal penting dalam ilmu marketing yaitu: Strategy - how to win the market (memenangkan pasar)-, tactics -how to penetrate a market (penetrasi pasar)-, Value - how to create an emotions touch (sentuhan emosi). Sebut saja Sekolah Dasar “Maju Jaya” mencoba melakukan hal ini pada pelanggannya, keluarga Bapak H. Sholeh yang telah berhubungan kurang lebih 10 tahun. Putra-putrinya tiga orang semuanya merupakan alumni di SD Maju Jaya. Ketika anaknya tumbuh dewasa dan membentuk keluarga sendiri, keluarga baru itu juga menyekolahkan putra-putrinya ke SD Maju Jaya, dan tentu saja menjadi pelanggan setianya karena ia telah kenal betul dengan Lembaga Maju Jaya Group. Demikian pula sebaliknya, Lembaga Maju Jaya Group tahu berapa jumlah anggota keluarga, umur, nama anggota, jenis kelamin dan hobi masing-masing.
Ketika istri Bapak H. Sholeh berulang tahun, salah seorang Guru SD Maju Jaya menelpon ke rumah dan mengucapkan selamat ulang tahun. Sudah dapat diduga, Pak H. Sholeh sangat terkejut dan sekaligus gembira. Bagaimana tidak, ada orang lain yang mengingatkan tanggal ulang tahun istrinya pada saat ia terlupa, dan ia bisa membayangkan betapa kecewa istrinya bila hari istimewa itu terlewatkan begitu saja. Bentuk perhatian sekecil apapun merupakan bentuk komunikasi untuk menjalin loyalitas dari para konsumen.

Siapa Saja Stakeholder?
Pelanggan atau konsumen yang loyal memang penting bagi perusahaan, tetapi ruang lingkup stake holder tidak hanya pelanggan saja. Bahkan tidak sedikit orang mengira dan memahami bahwa yang dimaksud dari stake holder hanyalah shareholder saja yaitu pengusaha. Dalam suatu bisnis selain konsumen yang turut andil juga dalam memberikan “saham” adalah para karyawan dan masyarakat sekitar seperti pemilik kantin, tukang ojek, tukang parkir, pemilik kontrakan bahkan pedagang bakso keliling. Mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri untuk ikut andil memberikan saham secara simbiosis mutualistis. Dan juga tidak bisa sebuah perusahaan hanya focus pada pelanggan saja, mereka memprioritaskan seluruh aktifitas perusahaan untuk memuaskan pelanggan. Hanya terfokus kepada satu sisi pelanggan saja akan menyebabkan kegagalan dari perusahaan tersebut, karena melalaikan stakeholder yang lain.
Kemitraan dengan stakeholders ini memerlukan kejelasan dengan definisi stakeholders itu sendiri: siapa saja mereka itu? Terdapat pendapat yang menyatakan pentingnya internal stakeholders dalam setiap perusahaan yakni karyawan yang juga merupakan primary stakeholders terutama dalam usaha manufacturing. Jenis usaha sektor lainnya lebih menekankan komunitas sekitar korporasi seperti dalam usaha ekstraktif (mineral dan tambang). Demikian pula konsumen dalam sektor jasa maupun suppliers dan usaha kecil (UKM) telah pula dipandang sebagai stakeholders. Dalam hal ini peran pemerintah lokal, kabupaten, propinsi dan nasional dianggap pula sebagai stakeholders yang penting.
Tak sedikit perusahaan yang hanya focus dalam memuaskan pelanggan saja, namun tidak mampu menghasilkan profit kepada shareholder. Disisi lain banyak pula perusahaan yang memprioritaskan seluruh aktifitasnya untuk memaksimalkan shareholder value. Mereka melakukan berbagai upaya mulai dari downsizing, restructuring,atau business process reengineering untuk meningkatkan produktifitas dan profitabilitas. Tidak jarang upaya cutting cost ini mempunyai dampak negatif kepada stakeholder yang lain yaitu karyawan. Salah satu contohnya strategi perusahaan yang membayar lebih murah kepada karyawan untuk pekerjaan tambahan tertentu yang diluar bidang tugasnya, hanya karena perusahaan mempunyai pandangan bahwa telah memberikan penghasilan tambahan bagi karyawan tersebut, maka kualitas pekerjaan yang sama yang dilakukan oleh seorang pegawai perusahaan akan dibayar lebih murah dibanding jika perusahaan menggunakan tenaga outsourcing. Strategi seperti ini mungkin akan memuaskan shareholder karena perusahaan mampu menhasilkan return yang memuaskan atau memuaskan pelanggan karena mereka mendapatkan produk atau jasa yang murah dengan kualitas yang mungkin lebih baik.
Pendefinisian stakeholders penting karena dapat menghindarkan penyamaan atau penyederhanaan “Tanggung Jawab Sosial” (CSR) dengan “pengembangan komunitas” atau community development (CD) karena “CSR is beyond or more than CD.” Jelaslah bahwa CSR mencakup berbagai kegiatan yang mendukung Good Corporate Governance (seperti ketaatan membayar pajak) dan upaya pecapaian Good Corporate Citizenship. Dalam banyak kasus seringkali CD mendominasi CSR dan terjadi dalam industri ekstraktif dimana peran komunitas lingkungan yang sumberdaya alamnya merasa “terambil” memerlukan pendekatan khusus untuk mencegah konflik.
Disini dapat dikatakan bahwa konsentrasi dalam bisnis tidak hanya berkutat dalam memuaskan pemilik modal saja atau konsumen saja, tetapi juga perlu memperhatikan kepuasan karyawan maupun masyarakat sekitar yang secara tidak langsung menikmati keberadaan perusahaan tersebut. Strategi yang salah dalam mengelola stakeholder tentu saja akan berdampak negative bagi perusahaan, bahkan bisa menimbulkan konflik di masyarakat yang berujung kepada demo bahkan anarkhisme yang tidak dikehendaki oleh semua pihak.
Peranan marketing sebagai sebuah konsep terpadu menjadi penting ketika adanya persaingan. Dimana terdapat dua pihak atau lebih yang berkompetisi untuk memperebutkan “prestasi” tertentu. Ketika hanya terdapat satu pemain di suatu pasar, biasanya pemain tersebut tidak membutuhkan konsep dan pendekatan marketing untuk memsarkan produk atau jasanya tersebut. Ketika persaingan menjadi intens, maka menjadi tinggi pula kebutuhan akan konsep marketing terpadu, kepuasan para stake holder menjadi perhatian pertama dari perusahaan tersbut. Konsep marketing menjadi perlu ketika perusahaan tersebut mendapati pesaing yang harus “dikalahkan”.

Tiga Skenario Kemitraan
Kemitraan antara perusahaan dengan stakeholders dapat mengarah ke tiga skenario: “un-productive,” “semi-productive,” atau “productive.” Skenario “un-productive” akan terjadi jika perusahaan masih berpikir degan pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders atau paradigma “the business of business is business.” Dalam skenario ini situasi “low trust” terjadi dan tiada stakeholders engagement dimana mereka masih dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan (“eksternalitas”) tidak diinternalisasikan. Dalam skenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat negatif dengan stakeholders negatif pula seperti oknum aparat atau preman. Berbagai keadaan negatif dapat terjadi misalnya pemogokan atau “slow-down” oleh buruh, boikot oleh konsumer, blokade oleh komunitas, dan pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam dengan sewenang-wenang serta pelanggaran HAM komunitas lokal. Keadaan terburuk yang dapat terjadi adalah terhentinya kegiatan maupun keberadaan perusahaan.
Pola kedua adalah kemitraan yang “semi-produktif” yang bercirikan kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan “sense of belonging” di pihak stakeholders. Kerjasama lebih mengandung aspek charity atau Public Relation (PR) dimana stakeholders masih lebih dianggap sebagai obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum otentik (genuine) dan masih mengedepankan kepentingan diri (self-interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (common interests) antara perusahaan dengan stakeholders. Dengan kata lain, shareholders engagement masih disekitar tahap “low trust.”
Kemitraan yang “productive” dan otentik menekankan stakeholders sebagai subyek dan dalam paradigma “common interest.” Pola ini dapat saja didukung oleh “resource-based partnership” dimana stakeholders diberi kesempatan menjadi shareholders. Sebagai contoh, karyawan memperoleh saham melalui Employee Stock Ownership Program (ESOP), dan hal ini akan membantu kelancaran produksi. Demikian pula saham untuk komunitas atau pemerintah daerah dapat meningkatkan community security. Kasus Exxon di Blok Cepu menjadi menarik dimana Pemda Bojonegoro direncanakan akan memperoleh 10% saham. Keadaan ini menimbulkan “sense of belonging” dan high-trust serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma “common interests.”
Ketiga skenario di atas dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan kemitraan setiap perusahaan dan jelaslah terlihat bahwa stakeholders dapat saja lebih berperan mempengaruhi kehidupan perusahaan dibandingkan dengan shareholders. Dengan kata lain, dinamika saham (share) di bursa saham dapat sangat dipengaruhi oleh dinamika stakeholders di lapangan.